Umat
jangan terlalu berlebihan dalam mensikapi Barack Obama karena memiliki
hubungan psikologis dengan Islam bila akhirnya benar-benar menjadi
Presiden Amerika Serikat. Sore kemarin saat membaca Koran Tempo yang
juga pernah menjadikan kasus Monas sebagai headlinenya, mataku berhenti
pada judul “Sikap Obama terhadap Israel” di tajuk pendapat.
Masih
ingat dengan publikasi calon presiden Amerika Serikat yang diekspos
oleh media-media Islam beberapa waktu yang lalu di negeri ini atau
mungkin hampir di seluruh dunia Islam? Tidak perlu disebutkan, mungkin
kita sendiri termasuk orang yang merasa senang dengan kehadiran Obama
yang memiliki hubungan dekat dengan Islam.
Dukungan umat Islam terhadap Barack Obama khususnya di kalangan komunitas Arab-Amerika karena konsistensinya dalam membela Palestina. Barack Obama pernah berucap, “Tak ada seorang pun yang lebih menderita ketimbang rakyat Palestina.” Selain itu, ayah calon presiden dari partai Demokrat yang bernama lengkap Barack Husein Obama, Sr (sama seperti namanya) dari Kenya juga seorang muslim, selengkapnya baca di sini. Dia dinikahkan oleh pastor Jeremiah Wright Jr, pemimpin jemaat Gereja Komunitas Bersatu Trinitas yang sering mengecam Negara Yahudi dan selalu membanggakan ras kulit hitam dengan Michelle Robinson, Jeremiah adalah seorang pendukung Louis Farrakhan pemimpin Nation of Islam, yang menyebut Yudaisme agama selokan dan mengejek orang Yahudi sebagai pengisap darah. Pastor ini juga selalu membandingkan kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina dengan politik apartheid, yang pernah terjadi di Afrika Selatan. Hal inilah yang menyebabkan Obama dicap anti Yahudi dan didukung umat Islam dalam membela komunitas Islam di dunia dan bangsa Palestina khususnya. Ayah tirinya yang orang Indonesia asli bernama Lolo Soetoro juga seorang muslim, bisa dikategorikan “abangan”, yang tidak sepenuhnya mempraktekkan sholat wajib dan filosofinya didasarkan pada sinkretisme antara Hindu, Buddha, animisme, dan elemen-elemen Islam..
Ternyata dunia itu benar-benar bisa melupakan anak dengan orang tuanya, memisahkan persaudaraan, bahkan prinsip hidup seseorang.
Dalam
dua tahun terakhir, apakah ini benar atau tidak, ia sudah belajar
menutup mata dan telinganya atas penderitaan rakyat Palestina akibat 60
tahun penjajahan Israel. Perubahan sikap politiknya berawal ketika ia
pertama kali mengunjungi Israel pada Januari. Dari atas helicopter
tentara Zionis, ia terharu menyaksikan anak-anak yang asyik bermain di
Sderot, meski kota yang hanya satu kilometer dari perbatasan Jalur Gaza
itu menjadi sasaran serangan roket Qassam hampir setiap hari.
Pada
pekan lalu ia mengukir sejarah dengan menjadi calon presiden pertama
Amerika yang berkulit hitam setelah menyudahi perlawanan Hillary. Dan
sebagai rasa terima kasih kepada para pemilih Yahudi, ia menyampaikan
pidato kemenangan pertamanya itu di depan anggota Komite Urusan Publik
Amerika Israel (AIPAC). Di sini ia kembali menegaskan komitmennya
terhadap Israel, termasuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara
Zionis itu.
Hal
lain yang memaksa kita untuk tidak terlalu berharap pada Obama karena
saat ini Yahudi mendominasi anggota Kongres dari Demokrat hasil Pemilu
2006. Dari 43 Yahudi, 40 orang di antaranya berasal dari partai Obama.
Mereka menduduki sejumlah posisi penting, seperti Harry Reid, yang
menjadi pemimpin mayoritas Senat, Senator Joseph Biden, yang mengetuai
Komite Hubungan Luar Negeri. Nancy Pelosi, yang menjadi Ketua DPR, dan
Tom Lantos, yang memimpin Komite Hubungan Internasional DPR. Komunitas
Yahudi di negaranya sangat kuat dalam lobi-lobi politik dan menyumbang
lebih dari 60 persen dari seluruh dana kampanye Demokrat. Akankah suatu
kebijakan dapat terealisasi tanpa dukungan dana dan mayoritas senator
yang menduduki pemerintahan Amerika Serikat?
Perubahan
prinsip ini sepertinya disadarinya karena sejalan dengan Undang-Undang
Pengkajian Anti Semit Global, yang ditandatangani Presiden Bush pada
Oktober 2004. Beleid ini mewajibkan Menteri Luar Negeri memberikan
laporan tahunan soal tindakan anti-Semit di seluruh dunia. Yang juga
harus menunjuk seorang utusan khusus yang mengepalai kantor yang
mengawasi dan memerangi tindakan anti Semit.
Jadi….
Kita lihat saja apa yang akan terjadi bila seandainya Barack Husein
Obama benar-benar menjadi Presiden Amerika Serikat karena mengalahkan
John McCain, calon dari partai Republik yang telah meminta restu dari
Perdana Menteri Ehud Olmert dan sejumlah pejabat Israel lainnya.
Apapun
bisa terjadi, apakah ini scenario atau bukan, sebagai umat unggulan
yang diberkahi Allah, sudah selayaknya kita bersikap wajar dan tidak berlebihan dalam menyikapi sesuatu.
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Al-Maidah:110).
Harapan
yang terlalu berlebihan dalam mensikapi sesuatu hanyalah mutlak
ditujukan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Kita hanya diwajibkan untuk
berikhtiar dan ridha dalam menerima takdir yang telah ditetapkan-Nya di
Lauh Mahfuzh.
“Tiada
sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.” (Qs. Al-Hadid :22)
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. al-Baqarah:216)
Bisa
jadi ini hanyalah upaya Yahudi dan musuh politiknya dalam menjegal
Obama karena sebagian masih menyangsikan keseriusan dukungan Obama
terhadap Yahudi, atau mungkin ini hanya trik yang dilakukan Obama untuk
dapat menjadi orang nomor satu di Gedung Putih. Wallahu’alam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar